Hak Ex Officio Hakim Dalam Melindungi Hak-Hak Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum (Sebagai Pihak) Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum
Oleh: Musthofa, S.H.I, M.H1
(Hakim Pengadilan Agama Bajawa)
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada 11 Juli 2017, yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1084 pada tanggal 4 Agustus 2017 menjadi semangat baru dalam memberikan keadilan bagi perempuan. PERMA R.I Nomor 3 Tahun 2017 dibentuk atas dasar pertimbangan bahwa perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama bagi perempuan. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender. Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.2
Keadilan dan non diskriminasi dapat dicapai melalui ex officio hakim yang memeriksa perkara. Bila dipandang secara sekilas, Hak ex officio hakim seakan-akan bertolak belakang dengan asas ultra petitum partium (mengabulkan lebih dari yang dituntut). Hal demikian didasarkan pada Pasal 178 Ayat (3) Het Herzien Indonesich Reglement (HIR). Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut”.3 Aturan demikian tidak dilakukan secara mutlak. Ada beberapa hal tertentu dapat menyimpang dari ketentuan Pasal 178 Ayat (3) HIR. Penyimpangan dari Pasal ini dapat dilihat dari dari ketentuan Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam.4
Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya berpendapat bahwa mengabulkan lebih dari yang dituntut, memutuskan sebagian saja dari semua tuntutan yang diajukan atau memutuskan hal-hal yang tidak di tuntut bertentangan dengan Pasal 178 ayat 3 HIR. Sebaliknya dalam putusannya tanggal 23 Mei 1970 Mahkamah Agung berpendapat, bahwa meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas sedang pengugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwewenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar dan hal itu tidak melanggar Pasal 178 ayat 3 HIR.5
Hak ex officio hakim dalam memutus perkara dapat dijumpai pada perkara perdata cerai talak. Dalam perkara Berdasarkan beberapa hal di atas, maka penulis mengambil tema Hak Ex Officio Hakim Dalam Melindungi Hak-Hak Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum (Sebagai Pihak) Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.