Sejarah Pengadilan Agama Bajawa
Sejarah Pengadilan Agama Bajawa
Pengadilan Agama Bajawa secara resmi melakukan fungsinya adalah mulai tanggal 10 Mei 1985. Sebelum berfungsinya Pengadilan Agama Bajawa ini, para pencari keadilan di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada yang akan menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama, harus datang di Pengadilan Agama di Ende, yang memang wilayah hukumnya sangat luas meliputi seluruh daratan Flores dan beberapa pulau lain di sekitarnya yang termasuk wilayah hukum Pemerintah Daerah di wilayah ini.
Di awal menjalankan fungsinya ini, Pengadilan Agama Bajawa baru memiliki dua orang pegawai, masing-masing Drs. Abd Manaf, NIP 150218660 dan Drs. A. Saefullah, NIP. 150218797. Keduanya masing-masing sebagai pelaksana untuk pekerjaan Ketua dan Panitera Kepala di Pengadilan Agama Bajawa ini. Semuanya berasal dari Jawa Barat dan dari Perguruan Tinggi yang sama,yaitu fakultas Syari’ah IAIN Jakarta.
Di saat mulai berfungsinya, Pengadilan Agama Bajawa ini belum mempunyai gedung, dan oleh karena itu menumpang di Kantor Urusan Agama Kecamatan tersebut, MALENG BAOLANG, dan Kepala Kantor Departemen Kabupaten Ngada, VICTOR LADO.
Sebenarnya, sejak tahun Anggaran 1984/1985 Pengadilan Agama Bajawa sudah menerima DIP Nomor: 09/XXV/3/1984, dengan jumlah dana sebesar 33.350.000. Dana sejumlah ini diperuntukkan bagi pengadaan tanah seluas 750 M2 dengan biaya Rp. 2.250.000. Konstruksi dan Pemagaran Keliling sebesar Rp. 28.800.000. Meubeler sebesar Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah, dan pelelangan sebesar Lima Pulu Ribu Rupiah.
Pada masa ini usia DIP selama tiga tahun. Artinya, kalau DIP untuk Pembangunan Balai Sidang Pengadilan Agama Bajawa (PBSPAB) itu Tahun Anggaran 1984/1985, baru akan berakhir masa lakunya pada akhir Maret 1986 belum dilaksanakan, Tetapi secara tiba-tiba Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan bahwa DIP-DIP yang pada akhir maret 1986 belum dilaksanakan,akan ditarik, dan menjadi SIAP. Akan halnya DIP untuk Proyek PBSPAB ini, terkena penerapan kebijaksanaan tersebut.Sampai pada akhir matinya DIP ini, baru dapat dilaksanakan oleh pimpinan Bagian Proyek (PIMBAGPRO) nya adalah Pengadaan tanah, meubelair, dan pelelangan.
Pelelangan sudah berlangsung, tetapi belum sempat dilaksanakan hasil pelelangannya itu, waktu yang ditentukan oleh Kebijaksanaan Pemerintah itu sudah tiba. Pelelangan itu sendiri memang berlangsungnya sudah agak mepet waktu. Tepatnya pada bulan Januari 1986. Maksud semula adalah untuk mengejar waktu akhir sesuai dengan ketentuan Kebijaksanaan Pemerintah itu,tetapi ternyata gagal total. Sebabnya adalah, di saat-saat Proyek ini memerlukan kebijaksanaan Lokal dan Pintas, Pimbagpro dan Kontraktor tidak berada di tempat. Mereka sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Pengadaan tanah seluas 750 M2 sesuai ketentuan DIP, tidak dapat dipenuhi. Apa alasannya, Wallahu A’alam. Yang berhasil diwujudkan adalah seluas 600 M2, terletak di desa Faobata, Kecamatan Bajawa. Pengadaan tanah ini cukup rumit, dan ini terbukti di saat proyek ini akan di laksanakan. Inilah salah satu hambatan yang nampaknya menjadi kendala bagi pelaksanaan Proyek PBSPAB saat itu. Selain itu juga, masih ada faktor lainnya sebagai penyebab kegagalan pelaksanaan Proyek itu.
Penyebab mana adalah bahwa Pimbagpronya dijabat oleh Moh. Shaleh DM, Kasi Kelembagaan pada Kantor Dep. Agama Kabupaten Ngada. Kedua Pejabat ini cukup sibuk dengan tugas-tugas dinasnya, sehinggah perhatiannya terhadap pelaksanaan Proyek ini agak sedikit terganggu. Konsultan/Designernya di Kupang. Sedangkan jarak antara Bajawa- Kupang cukup jauh, serta komunikasi relative sulit, dan biaya perjalanan tidak tersedia. Jadi kalau ada sesuatu yang akan dikonsultasikan mengenai pelaksanaan proyek ini oleh Pimbagpro kepada Konsultan/Designer, jelas agak sulit.
Intensilitas kerja kedua Pejabat ini agak sedikit lamban dan tidak cekatan, serta menganggap mudah segala sesuatu persoalan. Ini penulis saksikan sendiri dalam waktu selama kurang lebih satu tahun. Dalam waktu sekian lamanya ini, kadang-kadang sudah ada perjanjian antara Pimbagpro kepada penulis untuk berkonsultasi mengenai pengadaan tanah kepada Pejabat yang terkait, tahu-tahu gagal dilakukan konsultasi itu, tanpa alasan yang logis. Atau, jadi berkonsultasi dan sudah sampai di kantor tujuan, ternyata pejabat yang akan diajak berkonsultasi tidak berada di Kantornya, sudah pergi melaksanakan tugas rutinnya, karena memang Pimbagpronya berangkat dari rumah ketempat tujuan itu sudah siang. Padahal, Penulis datang ke rumahnya untuk keperluan ini sejak pagi-pagi, sebelum jam tujuh waktu setempat.
Hal-hal seperti ini bukan malah menjadikan Pimbagpro untuk semakin giat melaksanakan kepercayaan yang dibebankan kepadanya, tetapi malah semakin mengendor dan menampakan sikap putus asa dan patah semangat. Desakan-desakan kepadanya secara lisan kekeluargaan, sudah bukan sedikit jumlahnya yang penulis lakukan, tetapi terlalu banyak. Setiap kali didesak oleh Penulis agar Proyek ini Segera di laksanakan, muncullah jawabannya: “Itu mudah pak! Gampang! Sebab Proyek ini tidak memakan waktu sampai tiga bulan” begitu suara hati penulis.
Begitu diumumkan kebijaksanaan Pemerintah tentang habisnya masa laku DIP pada akhir maret 1986, Pimbagpro masih tidak percaya. Kilahnya, bahwa kebijaksanaan itu hanya berlaku bagi Proyek-proyek Vertikal, dan tidak terkena bagi Proyek-proyek Sektoral seperti Proyek PBSPAB ini. Setelah Pimbagpro yakin kebijaksanaan Pemerintah ini, dan Ia menyadari akan kekeliruan anggapannya yang selama ini menganggap bahwa Kebijaksanaan Pemerintah itu hanya berlaku bagi Proyek-proyek Vertikal saja, maka barulah dia kelihatan giat berusaha kian kemari untuk melaksanakan Proyek ini. Tetapi hal ini sudah terlalu terlambat. Sebab, sebelum waktunya tiba, Kakanwil Dep. Agama NTT sudah membuat edaran yang isinya bahwa Proyek-proyek yang belum rampung sampai dengan tanggal 31 Maret 1986, akan ditarik dan berarti SIAP. Setelah SIAP nya DIP ini, Pimbagpro masih juga memberikan kabar kepada Penulis bahwa nanti ada DIP Peluncuran, dan kita menunggu saja. Begitulah katanya kepada Penulis.
Dalam rapat Kerja antara Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram dengan Ketua-ketua Pengadilan Agama se-NTT dan TIM-TIM, hal ini Penulis sampaikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Kata Beliau bahwa DIP untuk Bajawa SIAP, dan untuk dapat DIP lagi tunggu beberapa tahun mendatang. Mendengar jawaban ini, maka yakinlah penulis bahwa yang namanya DIP Peluncuran itu memang tidak akan ada dan tidak pernah ada.
Setelah beberapa waktu lamanya dan jumlah Pegawai di Pengadilan Agama Bajawa sudah semakin bertambah, maka penulis mohon kepada Pimbagpro untuk menyerahkan hasil kerjanya kepada Pihak Pengadilan Agama Bajawa. Penyerahan pun berlangsung pada bulan Mei 1987, tetapi di saat penyerahan itu tidak dilengkapi dengan Berita Acara Penyerahan Barang, Padahal Berita Acara ini penting, sesuai dengan petunjuk Operasional Pelaksanaan Proyek. Kata Pimbagpro pada waktu penyerahan itu begini: ”Pak, tolong dibuatkan Berita Acaranya, saya belum sempat membuat. Nanti kalau sudah siap Berita Acaranya, kita tanda tangani bersama”. Berita Acara penyerahan pun Penulis buatkan, tetapi tidak pernah ditandatanganinya dan Pimbagpro pun pernah melihatnya. Waktu dia sering datang ke Kantor Pengadilan Agama Bajawa, tetapi tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah ini. Apalagi setelah kepadanya di beritahu oleh penulis bahwa barang-barang itu masih ada kekurangannya sesuai dengan penulis sodorkan, dia tidak pernah membicarakannya lagi.
Akan halnya kekurangan barang-barang itu, sudah Penulis sampaikan kepadanya, tetapi hasilnya tetap nihil. Jawabannya adalah untuk mengurus kekurangan barang itu kepada Pemborong, Dia malu. Sebab dia mempunyai beban moral dan berhutang budi kepada Pemborong. Mendengar jawaban semacam ini, Penulis tidak mengerti. Apa maksudnya Beliau menjawab begitu terhadap kekurangan barang-barang yang dimaksud. Hanya ada semacam sangkaan Penulis, bahwa Pimbagpro itu mempunyai janji-janji yang muluk kepada Pemborong tentang pelaksanaan Proyek ini. Artinya, dia berani menjamin bahwa Proyek ini pasti tidak akan SIAP. Makanya, walaupun waktu sudah begitu mepet, masih mau Pemborong itu mengurus Pelelangannya. Ternyata janji itu tidak terwujud.
Dengan adanya penyerahan barang dari Pimbagpro kepada Pengadilan Agama Bajawa itu, maka tempat penampungannya tidak ada. Tempat yang ada sudah semakin sempit. Sebab, selain Kantor Urusan Agama itu juga sebagai Kantor Pengadilan Agama Bajawa, Juga dijadikan sebagai tempat untuk beroperasinya Tugas-tugas Kantor Urusan Agama Kecamatan Bajawa, sekalipun yang terakhir ini memang jarang-jarang adanya. Yang paling repot bahwa tempat ini juga dijadikan tempat tinggal bagi Lima orang Pegawai Pengadilan Agama Bajawa dan seorang Pegawai Kantor Departemen Agama Kabupaten Ngada.
Atas dasar kenyataan itu maka Pengadilan Agama Bajawa pindah alamat ke Jalan Diponegoro No. 23. Tempat ini adalah sebagai hasil kontrak dengan Haji Moh. Iljas Pua Upa, dengan harga Rp. 750.000.- setiap tahun. Di alamat ini secara resmi sejak tanggal 2 Agustus 1987.
Pada tahun Anggaran 1988/1989, Drs. A. Saefullah mendapat panggilan ke Kupang untuk menerima DIP di Kanwil Departemen Agama NTT. Tepat, sejarah terima DIP itu berlangsung pada tanggal 2 Mei 1988. Tanggal 6 Mei 1988, Dana dalam DIP ini berjumlah Rp. 57.000.000.- dengan peruntukkan sebagai berikut:
Konstruksi dan pemagaran : Rp. 51.750.000.
Meubelair : Rp. 5.000.000
Perjalanan : Rp. 250.000
Yang dipercayakan mengelola DIP ini adalah Drs. A. Saefulal ANK. sebagai Pimpro, Drs. Fardinal Tanjung sebagai Benpronya, sedangkan Drs. ABD. MANAF sebagai Atasan langsung Pimpro.
Langkah pertama yang ditempuh oleh Pimpro dan Atasan Langsung adalah mengecek tentang kesiapan tanah yang sudah diadakan oleh Pimbagpro ke Lokasinya secara Langsung. Selain itu juga Pimpro dan Atasan Langsungnya berbicara kepada Petrus Deze sebagai pemilik tanah yang melepaskannya untuk keperluan pelaksanaan Proyek PBSPAB itu. Dari hasil pengecekan ini didapati Suatu isyarat bahwa proses penyelesaian tanah itu masih mentah dan belum apa-apa. Sungguh suatu hal yang tidak disangka dan tidak diduga. Tanah untuk Proyek ini, Jangankan sampai bersetifikat seperti yang dikehendaki oleh DIP itu sendiri, batas-batasnya pun belum jelas. Yang baru dapat diketahui adalah bahwa tanah itu Luasnya 600 M2, yang batas-batasnya secara rinci di keempat arah mata angin, belum diketahui. Baru secara global saja, yaitu dengan tanah Petrus Deze, di sebelah selatan: dengan jalan raya ogi, di sebelah timur dengan Kantor Pemerintah Desa Faobata di sebelah barat: dan dengan kali mati, di sebelah utara. Disini, ada satu kejanggalan yang sepantasnya tidak patut terjadi, Yaitu mengenai batas tanah di sebelah timur dan selatan. Batas antara kedua arah ini tertukar. Yang benar adalah bahwa batas di sebelah selatan itu dengan Jalan Raya ogi dan sebelah Timur Tanah milik Petrus Deze. Rupanya tanah ini secara riil memang belum pernah diukur, dan batas-batas ukuran panjangnya hanya rekaan belaka.
Di atas tanah itu masih ada sebuah rumah Lenga, milik salah seorang keluarga dekatnya Petrus Deze. Menurut Pimbagpro bahwa rumah itu akan segera pindah apabila Proyek akan dilaksanakan .Sekarang ini dia belum pindah karena memang kita belum mulai akan melaksanakan Proyek. Nah, untuk sementara ini, biarlah dulu rumah itu tidak usah diurus. Nanti kalau kita akan membangun, baru akan kita selesaikan masalahnya. Pada Tahun 1986, sekitar pertengahan Juli, Penulis mendengar dari Saidin Ali Sela mengenai tanah itu. Katanya, tanah itu masih sengketa antara pemilik rumah dengan Petrus Deze. Dia tidak mau pindah dari tanah itu sebab tanah itu warisan dari bibinya yang sudah meninggal. Hal ini sangat mengherankan Penulis dan oleh karena itu Penulis sampaikan berita itu kepada Pimbagpro. Lantas Dia menjawab bahwa itu tidaklah benar. Bahkan, Dia seolah-olah menyalahkan seseorang. Katanya orang itu sengaja menciptakan suasana dan meniupkan berita kepada pemilik rumah itu agar bertindak demikian. Setelah Penulis mendengar jawaban demikian dari pihak Pimbagpro, maka Penulis mempercayainya.
Di atas tanah itu masih ada rumah lenga yang sangat sederhana konstruksinya. Dengan sebab masih adanya rumah ini, proses pengadaan DIP tahun Anggaran 1988/1989 nyaris gagal. Selama bulan Mei, Juni, dan Juli saja, Lebih dari diadakan perundingan antara Petrus Deza dan pihak Pengadilan Agama Bajawa. Tetapi perundingan sejumlah kali itu masih menemui jalan buntu. Alasan Petrus Deza bahwa tanah itu memang benar diperuntukan bagi proyek PBSPAB, tetapi harganya belum lunas dibayar. Hal ini disampaikan oleh Petrus Deza setelah perundingan memasuki yang ke 29 kalinya. Katanya bahwa harga tanah itu sebenarnya Rp. 7.500.-/M2. Yang baru dibayar dengan uang yang tertulis seperti dalam surat keterangan untuk Melepaskan Hak Atas Tanah adalah merupakan panjar saja. Oleh karena itu masih ada kekurangannya.
Untuk mengatasi kekurangan ini, Pimpro mencari Rekanan yang bersedia menambah kekurangan yang diuraikan oleh Petrus Deza itu. Siapa yang bersedia, maka dialah yang akan mengerjakan proyek ini. Akhirnya, didapatilah Rekanan yang bersedia memenuhi apa yang disampaikan oleh Pimpro, yaitu FARADEWA.
Setelah Rekanan yang bersedia menutupi kekurangan harga tanah itu didapati, maka Pimpro dan Atasan Langsungnya melakukan kembali perundingan dengan Petrus Deza yang sementara itu terhenti. Perundingan diadakan berkali-kali, tepatnya lebih dari 20 kali perundingan, mulai bulan Juli 1988 sampai bulan Agustus 1988. Kadang-kadang, dalam satu hari itu masih lebih dari satu kali pertemuan, Bahkan kadang-kadang pada malam hari juga. Dengan adanya perundingan ini, belum berarti masalah tanah untuk Proyek PBSPAB ini sudah selesai. Sebab, pada dalam perundingan ini harga tanah itu naik menjadi sangat mahal rasanya, yaitu Rp. 10.000.-/M2. Dan ini masih belum terhitung dengan harga tanaman yang berada di atas tanah itu yang bernilai Rp. 500.000.-
Pada minggu ketiga bulan juli 1988, Pimpro dan Atasan langsung harus berangkat ke Mataram untuk mengikuti Lokakarya disana. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa perundingan dalam menyelesaikan masalah ini terhenti, tetapi tetap berkelanjutan dengan dimotori oleh Drs. Fardinal Tanjung, Drs. Haerumun, dan Maleng Baolang. Perundingan ini berhasil menolorkan kesepakatan bahwa harga tanah yang tadinya Rp. 10.000.-/M2 menjadi Rp. 8.500.-
Di mataram pun, Pimpro dan Atasan Langsungnya mengadakan pembicaraan khusus dengan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama, yang bertujuan untuk mencari jalan keluar dalam mengatasi persoalan ini. Di sini pun terdapat satu kesepakatan bahwa Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama bersedia membantu dana sebesar Rp. 1.250.000.- yang bersumber kepada Yayasan AL Hikmah.
Setelah dana itu diterima, Penulis merasa agak lega Juga rasanya, sebab dengan uang ini segala hambatan yang menghadang selama ini akan dapat diselesaikan. Ternyata perkiraan ini meleset 100%. Masalahnya sekarang adalah bukan pada Petrus Deza, tetapi pada pemilik rumah yang berada di atas tanah itu adalah miliknya, yang ia dapati sebagai warisan dari Ibunya yang sudah meninggal. Kemudian Penulis ingat bahwa apa yang disampaikan oleh Saidin Ali Sela itu benar adanya.
Sebagai bukti keberatannya adalah bahwa pada saat tanah itu akan diukur oleh Petugas Agraria Kabupaten Ngada untuk memastikan batas-batasnya, memang tidak mendapat tantangan, sebab yang bersangkutan tidak berada ditempat. Dia sedang berada di kebun. Pengukuran tanah itu berjalan dengan lancar. Karena batas-batasnya belum jelas, maka petugas dari Agraria itu mengukurnya sesuai dengan petunjuk dari Petrus Deze. Ukurannya adalah 26,35 meter di bagian Barat, 18 meter untuk bagian utara dan selatan, serta 33 meter untuk bagian Timur. Hasil dari pengukuran ini ternyata tidak mencukupi 600 M2 dan juga tidak akan sesuai dengan besarnya fisik bangunan. Maka oleh karena itu diadakan lagi penambahan untuk bagian utara dan Selatan masing-masing dua meter, sehingga dengan demikian ukurannya adalah untuk timur dan barat sama seperti diatas, dan untuk sebelah Utara dan Selatan masing-masing 20 meter. Dengan demikian, selesailah sudah proses pengadaan tanah ini dengan Petrus Deze.
Ternyata masih belum juga rampung. Sebab, setelah Petugas dari Agraria datang untuk mengukur tambahan ini, pemilik rumah mencegahnya. Tetapi Petugas itu mengatakan bahwa mereka itu adalah melaksanakan perintah Atasannya, dan kalau ibu merasa keberatan, ajukan saja keberatan itu ke Kantor Agraria Kabupaten Ngada, Lengkap dengan bukti-buktinya. Pencegahan itu tidak menghalangi Petugas dari Agraria untuk melangsungkan pekerjaannya. Mereka tetap terus bekerja. Sementara penulis berada di rumah Petrus Deze bersama dengan dua orang Petugas dari Agraria, Pemilik rumah itu berteriak-teriak. Isi teriakannya adalah tanah ini milik Petrus Deze, tetapi miliknya sendiri sebagai hasil warisan dari ibunya
Beberapa hari kemudian, Kepala Seksi Cipta Karya pada Dinas PU Kabupaten Ngada, Wilhemus Waso, menyerangkan kepada Penulis untuk mengadakan survei lokasi, guna merencanakan penempatan bangunan secara pasti. Pada hari Jum’at, 5 Agustus 1988 diadakan survei itu oleh Pimpro dan Atasan langsungnya, Wilhemus Waso, dan Petrus Deze, dengan cara mengukur tanah tanah itu pada bagian Utara dan Timurnya. Sebelum pekerjaan itu tuntas, masih sementara mengukur sebelah bagian Utaranya, maka pemilik rumah sudah dating dan mencegah berlangsungnya kegiatan itu. Akhirnya terjadi pertengkaran antara pemilik rumah dengan Petrus Deze. Mereka berebut meteran, dan terjadi saling tarik menarik. Dengan adanya kejadian ini, maka buyarlah harapan untuk melaksanakan Proyek PBSPAB.
Dalam keadaan seperti ini, Atasan Langsung Pimpro terus berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk dapat melaksanakan Proyek PBSPAB. Usaha mengadakan pendekatan kepada pihak yang terkait, baik dinas maupun perorangan, secara dinas maupun kekeluargaan, terus menerus dilaksanakan.
Pada suatu hari, tepatnya tanggal 15 Agustus 1988, Pimpro dan Atasan Langsungnya, Petrus Deze dan Maling Baolang datang menghadap Bapak Dandim 1625 Ngada, yang maksudnya adalah untuk mohon bantuan beliau dalam mencarikan pemencahan atas hambatan pelaksanaan Proyek ini. Dari sini, dihasilkan satu kesepakatan bahwa pada tanggal 22 Agustus 1988 akan dilangsungkan pertemuan di Kantor Camat Bajawa antara pihak Pengadilan Agama Bajawa, Petrus Deze, Camat Bajawa, dan pasi intel pada Kodim 1625 Ngada, serta pemilik rumah. Rupanya, sebelum pertemuan ini dilaksanakan, Petrus Deze membicarakan kepada Camat Bajawa, sesuai dengan Perintah lisan Pasi Itel pada Kodim 1625 Ngada. Akhirnya, Camat Bajawa mengambil alih permasalahan tanah ini dan ditanganinya langsung, tanpa mengadakan pertemuan yang direncanakan semula.
Di sinilah sengketa itu berhasil diselesaikan, dengan kesepakatan bahwa pemilik rumah bersedia pindah ke lokasi yang disediakan oleh Petrus Deze dan biaya pindahnya menjadi tanggungan Pengadilan Agama Bajawa. Sebenarnya, kalau saja sejak dulu Petrus Deze bersedia memberikan lokasi pindahan bagi pemilik rumah ini, persoalannya sudah selesai. Tetapi karena Petrus Deze tidak mau memberikan lokasi baru, maka demikianlah kejadiannya. Ini ditempuhnya memang sudah ada peringatan Dinas dari Pengadilan Agama Bajawa bahwa kalau pertemuan itu gagal menemukan satu kesepakatan yang pasti tentang pemindahan rumah itu, Pengadilan Agama Bajawa akan minta dikembalikan uangnya yang sudah diterimanya dalam waktu yang mepet sekali batasnya. Setelah uang pindah dibayarkan pada pemilik rumah sejumlah Rp. 250.000.- maka selesailah permasalahan tanah ini.
Sampai disini, masih ada juga persoalan lain. Yaitu bahwa tanah yang tersedia itu, setelah dihitung-hitung, ternyata tidak sesuai dengan luas fisik bangunan seperti ditentukan oleh DIP. maka dengan adanya masalah ini, atas dasar saran dari Kasi Cipta Karya pada Dinas PU Kabupaten Ngada, Atasan Langsung Pimpro mengadakan lagi perundingan dengan Petrus Deze, yang isinya adalah bahwa untuk pelaksanaan Proyek ini masih diperlukan lagi perluasan tanah yang ada, sekitar dua meter di bagian depan, dan Lima meter untuk bagian belakang. Tujuannya adalah selain untuk meluruskan batas-batas tanah yang sudah ada, juga sebagai perluasan halaman Kantor. Pembicaraan kali ini berhasil mulus dan sukses. Petrus Deze bersedia melepaskan tanahnya Lagi seluas yang diperlukan, yang luasnya kurang lebih 135 meter persegi, dengan kesepakatan harga Rp. 8.500.- setiap meternya. Untuk menyelesaikan administrasinya, memakan waktu cukup lama dan berbelit-belit. Tepatnya memakan waktu tujuh minggu, mulai minggu keempat Agustus 1988 sampai dengan minggu kedua Oktober 1988. Untuk ini, Atasan Langsung Pimpro tidak kurang dari 30 kali menemui Petrus Deze, 25 kali menemui Camat Bajawa, 6 kali menemui Sekretaris Desa Faobata dan 4 kali Nikolaus Nawa, dimana dua yang terakhir ini adalah sebagai saksi dalam keterangan Pelepasan Hak Atas Tanah itu.
Alhamdulillah, walaupun begitu rumit dan susah, dengan berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan banyak pihak, Proyek ini bisa berjalan. Peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 1988 oleh MUSPIDA Kabupaten DT II Ngada. Semoga Proyek yang begitu susah dalam proses penyelesaiannya ini membawa banyak manfaat bagi Umat Islam di Wilayah ini khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.
(Sumber: Bapak H. Abdull Manaf, M.H. Ketua Pertama Pengadilan Agama Bajawa)